Timnas Basket 3×3 Putra di Manila Challenger 2025: Dari Kekalahan Jadi Bekal Menuju SEA Games

Timnas Basket 3×3 Putra di Manila Challenger 2025 Dari Kekalahan Jadi Bekal Menuju SEA Games

Manila, September 2025 — Di sebuah lapangan outdoor dengan gemerlap lampu dan riuh sorak penonton,

empat pemain Timnas Basket 3×3 Putra Indonesia berdiri dengan seragam merah menyala bertuliskan nama tim “East Jakarta”.

Meski nama yang tercatat di papan skor berbeda dari identitas negara, semangat yang mereka bawa jelas: Merah Putih.

Turnamen Manila Challenger 2025 bukan hanya sekadar agenda internasional, melainkan batu uji penting menjelang

SEA Games Thailand 2025. Dan meski hasilnya belum sesuai harapan, cerita perjalanan mereka di Manila jauh lebih

dari sekadar dua kekalahan di babak kualifikasi.

Perjalanan Menuju Manila: Antara Harapan dan Realita

Skuad Indonesia menurunkan komposisi empat pemain yang sudah akrab dengan basket 3×3:

  • Nickson Damara Gosal – pemain energik dengan motor serangan cepat.

  • Sandy Ibrahim – penembak yang bisa memberi kejutan dari luar garis.

  • Surliyadin Itun – bertugas menjaga pertahanan sekaligus menopang rotasi.

  • Diftha Pratama – wajah veteran yang membawa pengalaman dan ketenangan.

Di balik mereka, berdiri sosok Fandi Andika Ramadhani, pelatih kepala yang paham betul bahwa 3×3 modern

berbeda jauh dari sekadar “setengah lapangan” versi basket 5 lawan 5. Tempo lebih cepat, transisi instan,

dan agresivitas fisik jadi norma baru.

Mengapa Manila? Karena di sinilah berkumpul lawan-lawan kelas dunia. Ada tim-tim dari Tiongkok, Singapura,

bahkan Eropa dan Amerika yang menguji konsistensi. “Kalau mau tahu seberapa siap kita, ya di sini tempatnya,”

ujar Fandi sebelum berangkat.

Babak Kualifikasi: Pertarungan Singkat, Pelajaran Panjang

Indonesia ditempatkan di Grup B, bersama Shanghai China dan SG Marina Bay Jumpshot dari Singapura.

  • Laga pertama melawan Shanghai berakhir dengan skor 8-21. Dari awal, lawan tampil dengan kekuatan fisik
    dan akurasi tembakan yang membuat Indonesia kesulitan bernapas.

  • Laga kedua kontra Singapura berlangsung lebih ketat, dengan skor 16-21. Di sini, kombinasi Nickson
    dan Sandy sempat memberi harapan, tapi ketenangan lawan di detik-detik akhir membuat kemenangan lepas begitu saja.

Dua kekalahan ini membuat East Jakarta gagal melaju ke perempat final, dan secara keseluruhan menutup turnamen di peringkat ke-14.

Di atas kertas, hasil ini tampak pahit. Namun di balik papan skor, ada evaluasi besar yang dibawa pulang.

Lebih dari Skor: Apa yang Didapatkan?

Pelatih Fandi menegaskan: Manila bukan tempat mencari medali, tapi laboratorium nyata untuk menguji taktik dan mental.

Beberapa poin penting muncul dari pengalaman ini:

  • Meta 3×3 yang terus berkembang. Lawan-lawan kini menekankan “ball movement” super cepat, rotasi agresif,
    dan transisi dalam hitungan detik. Indonesia harus menyesuaikan pola agar tak tertinggal.

  • Mental dalam tekanan. Laga kontra Singapura membuktikan bahwa ketenangan dalam menit-menit krusial bisa jadi pembeda.

  • Kondisi fisik. Dengan jadwal padat dan intensitas tinggi, stamina para pemain harus terus diasah agar konsistensi terjaga sepanjang laga.

“Kalau kita hanya berlatih di rumah sendiri, kita tak akan tahu betapa cepatnya dunia berkembang. Di sini kita belajar langsung,”

kata Fandi seusai pertandingan.

Suara Pemain: Antara Kecewa dan Motivasi

Setelah laga terakhir, wajah para pemain memang terlihat muram. Nickson mengaku, “Skor 8-21 lawan Shanghai terasa berat,

tapi itu menunjukkan standar yang harus kita kejar.”

Sementara Sandy menambahkan, “Saya lihat lawan tidak hanya lebih tinggi, tapi juga lebih sabar.

Itu yang harus kita latih—kesabaran dalam mengambil keputusan.”

Diftha, dengan pengalaman lebih banyak, mencoba memberi perspektif positif. “Kami kalah, iya.

Tapi SEA Games bukan sekarang. Manila ini ibarat buku catatan besar. Pertanyaannya, apakah kita mau baca dan belajar,

atau kita buang begitu saja.”

Jalan Menuju SEA Games Thailand 2025

Target besar tentu adalah SEA Games 2025. Di sanalah Timnas 3×3 ingin menebus kekalahan, membuktikan progres,

dan membawa pulang medali.

Dari Manila, beberapa agenda jelas sudah direncanakan:

  1. Latihan intensitas tinggi untuk mengimbangi tempo 3×3 dunia.

  2. Simulasi situasi krisis dalam latihan, agar pemain terbiasa menghadapi tekanan skor ketat.

  3. Sparring internasional tambahan melawan tim Asia Tenggara untuk memetakan gaya main regional.

  4. Recovery dan conditioning agar stamina bisa konsisten di laga-laga beruntun.

Fandi menyebut SEA Games nanti bukan sekadar soal skill, melainkan soal bagaimana tim ini bisa

mendewasa dalam menghadapi dinamika pertandingan cepat.

Kekalahan sebagai Titik Awal

Manila Challenger 2025 menegaskan satu hal: jalan menuju puncak tidak pernah lurus. Indonesia mungkin tersandung di kualifikasi,

tapi dari sanalah fondasi diperkuat.

Timnas 3×3 Putra pulang bukan dengan trofi, melainkan dengan setumpuk catatan, pengalaman, dan tekad baru. Bagi mereka, Manila hanyalah bab pendahuluan. Bab berikutnya—SEA Games Thailand—masih menanti untuk ditulis.

Dan siapa tahu, justru dari luka di Manila inilah lahir kemenangan yang lebih manis di masa depan.

By Debora