Roger Federer sudah pensiun tiga tahun lalu, namun setiap ucapannya masih bergaung keras di dunia tenis.
Di sela Laver Cup 2025, sang maestro asal Swiss itu melontarkan kritik yang memicu diskusi panas: menurutnya,
kecepatan lapangan tenis kini semakin seragam dan hal itu mengikis keunikan olahraga ini.
Dengan nada tenang tapi tegas, Federer berkata: “Dulu, ketika saya masih bermain, Anda benar-benar harus
beradaptasi dari satu permukaan ke permukaan lain. Sekarang, banyak lapangan dibuat dengan kecepatan hampir sama.
Rasanya, tenis kehilangan variasinya.”
Mengingat Era Keberagaman
Bagi Federer, perbedaan permukaan adalah bagian dari “jiwa tenis”.
-
Rumput (Wimbledon): cepat, pantulan rendah, membuat servis dan voli jadi senjata utama.
Federer sendiri meraih delapan gelar di sana berkat kemampuan membaca bola cepat. -
Tanah liat (Roland Garros): lambat, reli panjang, menuntut stamina dan kesabaran.
Rafael Nadal menjadi ikon karena gaya bermainnya cocok dengan karakter tanah liat. -
Hard court: dulu bervariasi — dari yang sangat cepat di Australia Open era 1990-an hingga medium di US Open.
Indoor hard pun punya ciri khas tersendiri.
Perbedaan-perbedaan itu membuat pemain harus punya “multi-identity”: Novak Djokovic mengasah mental tahan banting di hard court,
Pete Sampras dikenal tak terkalahkan di grass, sementara Gustavo Kuerten membangun namanya di clay.
“Perbedaan itu membuat tenis indah,” ujar Federer, mengenang masa ketika strategi tidak bisa hanya satu dimensi.
Mengapa Lapangan Kini Seragam?
Kritik Federer mengacu pada tren dua dekade terakhir. Banyak turnamen besar, termasuk Grand Slam,
sengaja menyesuaikan permukaan agar lebih lambat. Alasannya:
-
Tontonan televisi
Rally panjang dianggap lebih menarik untuk penonton layar kaca ketimbang servis-as lalu poin selesai dalam dua pukulan. -
Keadilan kompetitif
Lapangan lambat membuat perbedaan antara pemain dengan servis dahsyat dan pemain baseline jadi lebih kecil. -
Keamanan & cedera
Lapangan cepat sering dikaitkan dengan risiko cedera lutut atau pergelangan, sementara lapangan medium-lambat dianggap lebih “aman”.
Namun, efek sampingnya jelas: gaya bermain tertentu seperti serve & volley atau chip & charge makin punah.
Federer menilai, pemain modern yang kreatif justru kehilangan panggungnya.
Contoh Nyata di Era Kini
Federer menyebut nama Jannik Sinner dan Carlos Alcaraz sebagai contoh pemain yang diuntungkan kondisi homogen.
Kedua bintang muda Eropa ini tumbuh di era hard court lambat-menengah dan clay, sehingga gaya baseline agresif
mereka konsisten di hampir semua turnamen.
“Bukannya saya ingin mengurangi nilai mereka,” kata Federer. “Mereka luar biasa. Tapi bayangkan kalau variasi lapangan lebih ekstrem,
kita bisa melihat sisi lain dari mereka.”
Pernyataan ini memicu reaksi beragam. Beberapa pengamat setuju, menyebut bahwa hampir semua Masters 1000 kini terasa sama,
hanya berbeda kota. Sementara sebagian lainnya menilai homogenisasi adalah konsekuensi globalisasi tenis — turnamen ingin
lapangan yang stabil agar tidak ada keluhan berlebihan.
Suara dari Generasi Baru
Beberapa pemain muda justru menyambut positif seragamnya lapangan. “Bagi saya, bagus kalau ada standar.
Saya tidak harus mengubah terlalu banyak teknik setiap kali bertanding,” ujar seorang petenis top 20 ATP.
Namun, ada juga yang mendukung Federer. Seorang pelatih senior menambahkan: “Kreativitas pemain dibentuk oleh tantangan.
Kalau tantangan berkurang, variasi strategi juga ikut hilang.”
Tenis yang Lebih Mudah Diprediksi?
Federer khawatir tenis kehilangan daya tak terduga. Dulu, kejuaraan bisa diprediksi berbeda-beda: Pete Sampras mendominasi Wimbledon,
Nadal tak terkalahkan di Roland Garros, sementara US Open sering jadi ajang kejutan.
Sekarang, dengan permukaan homogen, peta persaingan cenderung sama di semua turnamen.
Pemain terbaik di hard court biasanya juga mendominasi clay maupun grass — karena perbedaannya tak lagi terlalu ekstrem.
“Kalau semua terasa sama, kita kehilangan warna. Padahal perbedaan itulah yang membuat fans menanti tiap
Grand Slam dengan sensasi unik,” ujar Federer.
Masa Depan: Apakah Akan Ada Perubahan?
Pertanyaannya kini: apakah kritik Federer bisa mendorong perubahan?
-
Federasi internasional bisa saja menetapkan variasi standar, misalnya membuat beberapa turnamen
Masters 1000 dengan kecepatan ekstra cepat atau ultra lambat. -
Penyelenggara mungkin perlu lebih berani: Wimbledon bisa menegaskan dirinya lebih cepat lagi,
sementara US Open bisa bermain dengan karakteristik lebih “keras” dan berbeda dari Australia Open. -
Pemain muda harus dilatih di berbagai permukaan agar terbiasa, sehingga tenis kembali kaya gaya.
Suara Legenda untuk Masa Depan
Bagi Roger Federer, kritik ini bukan nostalgia semata. Ia sedang menyuarakan sesuatu yang lebih besar: mempertahankan identitas tenis.
Di era ketika olahraga cenderung “distandardisasi” demi efisiensi dan hiburan, Federer justru mengingatkan
bahwa keindahan terletak pada keanekaragaman.
Dan mungkin, di antara semua warisan Federer untuk tenis, kritik inilah yang paling bernilai: sebuah ajakan agar
tenis tidak hanya memikirkan kemenangan, tapi juga seni, variasi, dan pengalaman unik yang membuat olahraga ini
dicintai jutaan orang di seluruh dunia.