Suara drum, chant suporter, dan flare yang menyala masih menjadi bagian dari wajah sepak bola Indonesia. Dari tribun stadion di pelosok kota,
hingga layar ponsel di kafe atau rumah, pertandingan Liga 1 tetap jadi tontonan utama. Namun, di balik hiruk-pikuknya, sebuah gelombang besar sedang
terjadi: perubahan struktural dalam liga sepak bola Indonesia.
Bukan hanya soal format kompetisi, bukan hanya sekadar ganti nama. Yang sedang berjalan adalah upaya membangun ulang fondasi sepak bola nasional agar bisa berdiri lebih kokoh,
bersaing di level Asia, dan tentu saja—lebih sehat secara profesional.
Kenapa Harus Berubah?
Sepak bola Indonesia sudah lama bergulat dengan masalah klasik:
-
regulasi yang sering berubah di tengah jalan,
-
kualitas wasit yang dipertanyakan,
-
sistem kompetisi yang tidak konsisten,
-
manajemen klub yang masih jauh dari standar profesional,
-
hingga tragedi stadion yang mengingatkan betapa rapuhnya sistem pengelolaan keamanan pertandingan.
Momentum besar datang pasca Tragedi Kanjuruhan 2022. Di titik itu, pemerintah, federasi (PSSI), hingga klub menyadari: sistem sepak bola tidak bisa dibiarkan berjalan dengan pola lama.
Evaluasi pun dilakukan, rekomendasi muncul, dan akhirnya, perubahan struktural pun dirancang.
“Kalau kita ingin maju, fondasinya harus dibenahi dulu,” ujar Erick Thohir, Ketua Umum PSSI, dalam salah satu konferensi pers peluncuran musim liga baru.
Rebranding: Dari Liga 1 ke Super League
Salah satu perubahan paling kasat mata adalah rebranding. Liga 1 kini berubah nama menjadi BRI Super League, sementara Liga 2 menjadi Pegadaian Championship.
Badan pengelolanya pun berubah dari Liga Indonesia Baru (LIB) menjadi I-League.
Bagi sebagian orang, ini mungkin terlihat sekadar ganti nama. Namun di dunia industri olahraga, branding adalah pintu masuk sponsor, media, dan penonton baru.
Nama “Super League” dirancang agar lebih mudah dipasarkan, terdengar lebih megah, dan bisa bersaing secara citra dengan liga-liga di luar negeri.
Regulasi Baru: Pemain Asing dan Pemain Muda
Perubahan lain yang langsung terasa adalah soal regulasi pemain.
-
Kuota pemain asing ditambah. Klub kini bisa mendaftarkan 8 pemain asing, dengan batasan 6 yang boleh dimainkan bersamaan. Tujuannya? Agar kualitas pertandingan meningkat,
tempo lebih tinggi, dan pemain lokal bisa terasah lewat kompetisi ketat. -
Di sisi lain, aturan untuk pemain muda tetap dipertahankan. Klub wajib memberi menit bermain bagi pemain U-22. Harapannya,
talenta muda tidak sekadar menjadi penghangat bangku cadangan, tetapi juga benar-benar diberi kesempatan berkembang.
Bagi klub, aturan ini menjadi dilema manis: mereka bisa memperkuat skuad dengan bintang asing, tapi tetap harus berpikir jangka panjang dengan menyiapkan generasi baru.
Format Kompetisi: Kembali ke Jalur Asli
Musim 2023/2024 menghadirkan drama dengan adanya Championship Series atau playoff penentuan juara. Tapi format ini menimbulkan pro-kontra.
Klub yang konsisten sepanjang musim bisa saja gagal juara hanya karena kalah di babak akhir.
Menyerap kritik itu, PSSI dan I-League memutuskan: mulai 2024/2025, liga kembali ke format full round robin. Artinya,
siapa yang berada di puncak klasemen saat musim reguler berakhir, dialah juaranya. Format sederhana, tapi lebih adil, dan tentu lebih sesuai dengan tradisi liga besar dunia.
Teknologi Wasit: VAR Jadi Wajib
Dalam beberapa musim terakhir, wasit kerap jadi sorotan. Kontroversi penalti, gol dianulir, atau kartu merah yang diperdebatkan selalu memicu perdebatan panjang di media sosial.
Kini, Video Assistant Referee (VAR) tidak lagi jadi aksesori di akhir musim. Sejak laga perdana, VAR wajib digunakan.
Selain itu, hanya kapten tim yang boleh mengajukan protes resmi kepada wasit. Aturan ini sejalan dengan upaya menjaga ketertiban,
mencegah kerumunan pemain mengerubungi wasit, dan tentu saja meningkatkan kredibilitas kompetisi.
Dari Pusat ke Daerah: Liga 4 dan Peran Asprov
Perubahan struktural tak hanya menyentuh kasta atas, tapi juga level akar rumput. PSSI meluncurkan Liga 4 sebagai kompetisi resmi tingkat kabupaten/kota.
Sistem ini membuat piramida sepak bola Indonesia semakin jelas:
-
Liga 4 (lokal)
-
Liga 3 (nasional/amatir)
-
Liga 2 (profesional tingkat kedua)
-
Liga 1 / Super League (kasta tertinggi)
Selain itu, peran Asosiasi Provinsi (Asprov) semakin besar. Mereka kini memegang kendali penuh dalam pembinaan klub di wilayah,
termasuk penunjukan asosiasi kota (Askot) dan kabupaten (Askab). Dengan struktur ini, jalur karier pemain muda dari desa hingga ke stadion utama akan lebih terarah.
Klub Juga Berbenah
Transformasi juga terjadi di dalam klub. Persija Jakarta, misalnya, mengubah total struktur manajemennya. Jabatan Direktur Utama dan Presiden digabung,
struktur komisaris diperluas, dan fungsi bisnis dipisahkan lebih jelas dari teknis tim.
Langkah ini adalah cerminan tuntutan zaman: klub sepak bola bukan lagi sekadar tim olahraga, melainkan perusahaan hiburan dengan basis fans besar,
pendapatan komersial, dan tanggung jawab sosial.
Harapan dan Tantangan
Perubahan ini membawa harapan besar:
-
Kompetisi lebih profesional dan konsisten.
-
Klub lebih sehat dalam finansial dan manajemen.
-
Pemain muda lebih banyak kesempatan tampil.
-
Liga Indonesia bisa bersaing di level Asia, baik dari kualitas permainan maupun reputasi.
Namun, jalan ke sana tidak mulus. Tantangan nyata tetap ada:
-
Konsistensi implementasi: aturan sering bagus di atas kertas, tapi lemah di pelaksanaan.
-
Masalah finansial klub kecil: kuota asing lebih besar artinya biaya lebih tinggi. Tidak semua klub mampu.
-
Pembajakan siaran: pendapatan dari hak siar bisa bocor jika link ilegal masih marak.
-
Kultur lama: butuh waktu agar pemain, pelatih, hingga suporter terbiasa dengan aturan baru seperti VAR atau protes terbatas.
Suara dari Tribun
Bagi suporter, yang penting sederhana: bisa menonton liga dengan lebih teratur, lebih adil, dan lebih menarik.
“Saya sih setuju balik ke format liga penuh. Biar adil. Kalau juara ya juara karena konsisten, bukan karena playoff sekali kalah langsung gugur,”
ujar Dimas, pendukung Persib, saat ditemui usai laga pembuka musim.
Sementara, Fajar, penggemar PSM Makassar, menyoroti aturan pemain muda. “Bagus kalau mereka dipaksa mainin pemain U-22.
Jangan sampai talenta muda cuma jadi cadangan. Kita kan pengen lihat bintang lokal lahir dari liga sendiri.”
Menuju Masa Depan
Transformasi struktural ini adalah perjalanan panjang. Hasilnya mungkin baru bisa benar-benar terlihat dalam 3 sampai 5 tahun ke depan.
Namun, langkah awal sudah dibuat: rebranding, regulasi baru, sistem kompetisi yang lebih jelas, VAR, serta jalur pembinaan akar rumput.
Kalau konsistensi bisa dijaga, liga Indonesia berpeluang besar naik kelas. Bukan hanya jadi tontonan rutin akhir pekan, tapi juga industri olahraga modern yang sehat,
kompetitif, dan membanggakan di Asia.
Untuk sekarang, satu hal pasti: sepak bola Indonesia sedang mencoba berdiri lebih tegak di atas fondasi yang lebih kokoh.
Dan para penonton di tribun—dengan suara lantang mereka—akan menjadi saksi perubahan itu.