Di Pulau Dewata, sepak bola lebih dari sekadar hiburan. Ia adalah denyut nadi yang menyatukan masyarakat, dari pantai Kuta yang ramai hingga desa-desa kecil di Gianyar.
Di tengah gegap gempita budaya Bali, berdiri Bali United Football Club, yang selama hampir satu dekade terakhir menjadi simbol modernitas, profesionalisme, dan kebanggaan daerah.
Namun memasuki musim 2025/26, Serdadu Tridatu seperti berada di persimpangan jalan. Klub yang pernah berjaya bersama Stefano “Teco” Cugurra itu kini
harus menapaki era baru: sebuah musim penuh transisi, dengan wajah, filosofi, dan tantangan yang benar-benar berbeda.
Akhir dari Sebuah Era
Musim 2024/25 menjadi alarm keras. Bali United, yang terbiasa bersaing di papan atas, harus puas finis di posisi kedelapan. Bagi klub dengan basis suporter besar,
infrastruktur modern, dan reputasi yang terbangun, hasil itu tak hanya mengecewakan—ia menandakan perlunya perubahan besar.
Stefano Cugurra, arsitek yang menghadirkan trofi dan identitas, memilih hengkang. Publik Bali tahu, kepergian Teco bukan hanya soal hilangnya pelatih, tetapi juga akhir dari sebuah era.
Dari sana, manajemen mengambil keputusan berani: memboyong pelatih asal Belanda, Johnny Jansen, untuk merumuskan ulang arah klub.
Johnny Jansen dan Misi Eropa di Pulau Bali
Jansen datang bukan dengan janji muluk, melainkan visi jangka panjang. Latar belakangnya di Belanda, negeri yang identik dengan filosofi “Total Football”,
membuat ekspektasi tinggi segera melekat.
“Bali punya fondasi kuat. Saya ingin membangun tim yang bermain kolektif, menyerang, dan disiplin. Tapi kita butuh waktu,”
ucapnya dalam perkenalan resmi di Stadion Kapten I Wayan Dipta.
Bagi sebagian suporter, kata-kata itu bagai pedang bermata dua. Ada kebanggaan karena klub dipercaya mengusung sepak bola modern Eropa,
tapi ada juga kegelisahan: apakah proses adaptasi ini tidak membuat Bali United semakin tertinggal dari rivalnya?
Perombakan Skuad: Darah Baru, Tantangan Lama
Tak ada transisi tanpa perubahan pemain. Musim 2025/26 menjadi panggung bagi wajah-wajah baru:
-
Thijmen Goppel, bek sayap asal Belanda yang sudah kenyang pengalaman di liga Eropa. Diharapkan jadi motor serangan dari sisi lapangan.
-
Joao Ferrari, bek tengah berdarah Brasil–Italia, yang sebelumnya merumput di PSIS Semarang dan Liga Malta.
Fisik tangguhnya digadang-gadang menjadi tembok baru pertahanan. -
Rizky Dwi Febrianto, rekrutan lokal dari Persis Solo, menambah kedalaman di lini belakang.
Nama lama seperti Boris Kopitovic dan Brandon Wilson tetap dipertahankan untuk menjaga kontinuitas.
Sementara bintang lokal seperti Irfan Jaya, Yabes Roni, dan Kadek Agung masih jadi tumpuan utama.
Tetapi chemistry belum sepenuhnya terbentuk. Perubahan gaya main dari “Teco Ball” yang pragmatis ke filosofi Jansen yang lebih menyerang membutuhkan waktu.
Hasilnya, awal musim diwarnai inkonsistensi: dari kemenangan tipis hingga kekalahan telak seperti 2–5 melawan Persebaya.
Statistik yang Membuka Mata
Hingga September 2025, Bali United berada di peringkat 14 klasemen Super League, posisi yang membuat alis terangkat.
Produktivitas juga rendah: hanya Mirza Mustafić yang mampu mencetak lebih dari dua gol (3 gol sejauh ini).
Di sisi lain, kebobolan Bali United cukup tinggi, tanda bahwa lini pertahanan belum solid meski sudah diperkuat Ferrari.
Statistik ini memunculkan narasi klasik: adaptasi butuh waktu, tapi Liga tidak pernah menunggu.
Sorotan Nasional: Wakil di Tim All Star
Meski goyah di liga, kualitas individu tetap diakui. Empat pemain Bali United dipanggil memperkuat Indonesia All Star di ajang
Piala Presiden 2025: Ricky Fajrin, Irfan Jaya, Komang Tri Arta Wiguna, dan Rizky Dwi Febrianto.
Bagi fans, ini menjadi pengingat bahwa Bali United masih memiliki talenta yang bisa bersinar, meski performa tim belum konsisten.
Antara Realitas dan Ambisi
Manajemen menargetkan finis di posisi 4–5 besar—target yang realistis, tapi juga sulit bila melihat start musim. Jansen dihadapkan pada
dilema: apakah harus langsung mengejar hasil, atau berani mengambil risiko dengan proses panjang membangun filosofi baru?
Di tribun Kapten I Wayan Dipta, suporter Serdadu Tridatu tetap setia bernyanyi. Mereka tahu transisi bukan hal mudah, tapi loyalitas mereka juga memiliki batas.
Bali United harus segera memberi tanda-tanda kebangkitan.
Lebih dari Sekadar Klub
Bali United bukan hanya tim sepak bola. Ia adalah representasi Pulau Dewata di pentas nasional. Stadion megahnya menjadi tujuan wisata,
merchandise-nya dijual laris sebagai simbol gaya hidup, dan kehadirannya memberi dampak ekonomi ke masyarakat lokal.
Maka, kegagalan bukan hanya kehilangan poin di klasemen, melainkan juga hilangnya momentum untuk terus menjadi ikon.
Musim 2025/26 bisa menentukan apakah Bali United tetap menjadi pelopor profesionalisme sepak bola Indonesia, atau sekadar klub yang terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya.
Menanti Babak Berikutnya
Masih ada jalan panjang hingga musim berakhir. Shopee Cup (ASEAN Club Championship) mungkin absen untuk mereka tahun ini,
tapi Liga tetap jadi panggung utama. Pertanyaannya: apakah Bali United mampu bertransformasi cepat?
Jika Jansen bisa menyatukan pemain asing dan lokal, memperbaiki lini pertahanan, dan menemukan mesin gol yang konsisten, maka cerita musim ini bisa berubah.
Bila tidak, 2025/26 akan tercatat sebagai musim “trial and error” yang pahit.
Apa pun hasilnya, satu hal pasti: di Pulau Bali, sepak bola tetap hidup. Dan Serdadu Tridatu, dengan segala jatuh-bangunnya, akan selalu jadi cerita yang diceritakan di warung kopi, pantai, dan pura.