Suara bola basket yang memantul di lantai kayu sebuah lapangan selalu menyimpan gema harapan. Di Indonesia,
gema itu kini sedang diarahkan pada satu mimpi besar: tampil di Olimpiade 2028 di Los Angeles.
Di balik layar, mimpi itu tidak lahir begitu saja. Ia lahir dari obrolan serius, meja rapat, dan secangkir kopi hangat di ruang pertemuan Kementerian
Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) pada akhir September 2025. Di sana, Menteri Pemuda dan Olahraga Erick Thohir bertatap muka dengan jajaran PP Perbasi.
Agenda mereka jelas: menyusun peta jalan basket nasional agar Indonesia tidak lagi hanya menjadi “penonton” di pesta olahraga terbesar dunia.
“Indonesia punya potensi. Tinggal bagaimana kita memastikan ekosistemnya rapi, pembinaan berjalan, dan target ditetapkan dengan jelas,” ujar Erick, membuka audiensi dengan nada optimistis.
Dua Jalur: 3×3 yang Realistis, 5×5 yang Visioner
Dalam rapat tersebut, ada kesepakatan tak tertulis yang menjadi titik terang: basket 3×3 adalah pintu masuk paling realistis menuju Olimpiade.
Sistem kualifikasi berbasis poin FIBA World Tour memberi ruang bagi negara seperti Indonesia untuk mengumpulkan tiket dengan rajin mengikuti turnamen internasional.
Perbasi sadar jalur ini lebih masuk akal ketimbang langsung mengejar 5×5 yang level persaingannya masih jauh. Namun, bukan berarti 5×5 ditinggalkan.
Ketua Umum Perbasi, Budisatrio Djiwandono, menegaskan bahwa “jalan panjang” menuju Olimpiade tetap harus melibatkan dua cabang tersebut.
“3×3 bisa jadi tiket cepat, tetapi 5×5 tetap jantung basket nasional. Kami ingin keduanya berjalan berdampingan. Misi jangka pendek kami adalah medali SEA Games 2025,
misi jangka panjang adalah Olimpiade 2028,” ujarnya.
Panggung Senayan: Audiensi yang Menentukan
Audiensi antara Kemenpora dan Perbasi berlangsung lebih dari sekadar seremonial. Di meja rapat itu, berbagai isu strategis ditumpahkan:
-
Pembinaan berkelanjutan → Erick menekankan pentingnya keberlanjutan. Tidak boleh ada “generasi emas sesaat” yang habis begitu saja. Regenerasi harus dipikirkan dari sekarang.
-
Fasilitas pelatnas → isu klasik seperti tempat latihan di Cibubur muncul. Erick berjanji segera menuntaskan kendala infrastruktur agar timnas punya “rumah tetap” untuk berlatih.
-
Agenda multievent → SEA Games 2025 dan Asian Games 2026 dijadikan “batu loncatan”. Prestasi di sana akan menjadi tolok ukur sebelum menatap Olimpiade.
-
Sinergi lembaga → Erick juga mengingatkan pentingnya koordinasi dengan KOI agar persiapan Olimpiade tidak berjalan sendiri-sendiri.
Suasana rapat serius, namun bukan tanpa tawa kecil. Beberapa kali, Erick menyinggung pengalamannya di dunia olahraga profesional.
“Target besar itu penting, tapi yang lebih penting adalah komitmen harian. Kita harus kerja konsisten, bukan hanya menjelang event besar,” katanya.
MoU Perbasi – Inaspro: Pondasi Finansial
Salah satu langkah konkret adalah penandatanganan MoU antara Perbasi dan Inaspro pada April 2025. Perjanjian ini menjamin dukungan dana untuk periode 2025–2028.
Bagi Perbasi, ini seperti oksigen baru.
Sebab, untuk berbicara di Olimpiade, tidak cukup hanya dengan semangat. Perjalanan turnamen internasional, pelatihan berkualitas,
hingga gaji pelatih asing membutuhkan dana besar. Dengan adanya Inaspro, beban itu bisa lebih ringan.
“Dukungan dana ini akan jadi bahan bakar utama. Sekarang tinggal bagaimana kami mengelola agar hasilnya nyata,” kata Budisatrio.
Harapan “Gila” dari Perbasi
Di balik strategi, ada pula sentuhan emosional. Perbasi secara terbuka menyampaikan harapan agar Menpora Erick Thohir “bekerja lebih gila” demi olahraga Indonesia.
Pernyataan itu bukan sindiran, melainkan dorongan.
“Kadang olahraga butuh gebrakan yang tidak biasa. Kalau kita berjalan normal-normal saja, hasilnya juga normal. Kita butuh keberanian,
bahkan kegilaan, untuk mencapai sesuatu yang besar,” kata seorang pengurus Perbasi seusai rapat.
Erick hanya tersenyum menanggapinya. “Kalau untuk merah putih, kita semua harus gila bekerja. Tidak ada pilihan lain,” balasnya.
Peluang dan Risiko: Antara Realitas dan Mimpi
Peluang:
-
3×3 menjadi jalur logis dan feasible.
-
Dukungan pemerintah dan MoU Inaspro menjanjikan kesinambungan dana.
-
Indonesia sudah dipercaya FIBA menjadi tuan rumah beberapa turnamen internasional 2027–2029, sebuah modal eksposur global.
Risiko:
-
Kesenjangan kualitas 5×5 dengan negara Asia lain seperti Filipina, Jepang, dan Korea masih lebar.
-
Koordinasi lintas lembaga rawan terhambat oleh birokrasi.
-
Target tinggi bisa berbalik menjadi tekanan jika hasil tidak segera terlihat.
Kilasan Masa Depan: Los Angeles di Depan Mata
Bayangkan, tiga tahun dari sekarang, ketika timnas basket 3×3 Indonesia berdiri di lapangan Los Angeles, bersiap menghadapi negara-negara raksasa.
Peluit pertama berbunyi, dan seluruh rakyat Indonesia menatap layar kaca dengan dada berdebar.
Momen itu masih berupa angan. Tetapi, dari rapat di Senayan, dari MoU yang diteken, dari kerja keras para pemain muda yang berlatih tanpa lelah,
angan itu mulai disusun menjadi kenyataan.
Olimpiade bukan sekadar soal bola masuk ke ring. Ia soal simbol, tentang keberanian sebuah bangsa kecil untuk bermimpi besar.
Dan hari ini, Indonesia sudah menapaki jalan menuju mimpi itu.