Saat Pemain Top Menantang Grand Slam: Suara dari Balik Lapangan

Saat Pemain Top Menantang Grand Slam Suara dari Balik Lapangan

Di ruang istirahat para pemain, setelah pertandingan panjang di bawah terik lampu stadion, percakapan-percakapan kecil kerap terjadi.

Bukan hanya soal strategi atau pukulan yang meleset, melainkan tentang sesuatu yang jauh lebih besar: bagaimana struktur tenis dunia ini dibangun, dan siapa sebenarnya yang paling diuntungkan.

Hari-hari itu, obrolan tersebut berubah menjadi sebuah gerakan. Sebuah surat bersama, ditandatangani oleh sederet nama besar — Iga Świątek,

Carlos Alcaraz, Aryna Sabalenka, Jannik Sinner, Coco Gauff, hingga Novak Djokovic. Mereka menyerukan perubahan: agar Grand Slam,

turnamen paling prestisius di tenis, memberikan bagian yang lebih adil bagi para pemain.

Dari Surat yang Tenang, Lahir Gelombang

Surat itu sederhana di atas kertas, tapi gaungnya keras. Disampaikan ke penyelenggara Australian Open, Roland Garros, Wimbledon, dan US Open, isinya menuntut tiga hal utama:

  1. Kenaikan revenue share: dari hanya sekitar 15–16% ke angka 22% pada 2030.

  2. Perlindungan kesejahteraan pemain: mencakup dana pensiun, asuransi kesehatan, hingga tunjangan maternitas bagi atlet wanita.

  3. Hak suara nyata: lewat pembentukan Dewan Pemain yang bisa ikut menentukan hal-hal penting, dari jadwal hingga keselamatan di lapangan.

Bagi publik awam, mungkin ini terdengar teknis. Tapi bagi pemain, ini menyentuh inti kehidupan mereka.

“Setiap kali saya naik pesawat ke turnamen, saya tahu biaya pelatih, fisioterapis, dan akomodasi akan jatuh ke pundak saya.

Kadang hadiah ronde pertama saja tidak cukup menutup biaya itu,” kata Emma Navarro, petenis Amerika yang masuk 20 besar WTA,

dalam sebuah wawancara. “Ini bukan hanya soal uang lebih, tetapi ini soal perlakuan yang adil.”

Bayangan Ketidakadilan

Angka yang Jauh Berbeda

Casper Ruud, finalis Roland Garros 2022–2023, dengan blak-blakan menyebut ketimpangan yang mencolok:

  • Pemain tenis hanya menerima sekitar 15% dari total pendapatan Grand Slam.

  • Di liga olahraga besar lain, seperti NBA atau NFL, angka itu bisa mencapai 50%.

“Kalau tenis mau benar-benar menyebut dirinya olahraga profesional global, pembagian hasilnya juga harus profesional. Sekarang, sejujurnya masih timpang,” ujar Ruud.

Hidup di Bayangan Raksasa

Bagi pemain papan atas, Grand Slam adalah panggung besar dengan sorotan media, sponsor, dan kontrak jutaan dolar.

Tapi bagi mereka yang berperingkat 50 ke bawah, Grand Slam sering hanya berarti satu hal: perjuangan bertahan hidup.

  • Tiket pesawat internasional yang mahal.

  • Sewa apartemen di kota turnamen yang sering melambung.

  • Biaya tim pendukung (pelatih, fisio, nutrisialis) yang bisa setara hadiah kalah babak pertama.

Tidak heran, banyak pemain merasa meski Grand Slam terus meraup pendapatan besar, mereka yang mengisi lapangan justru masih bergulat dengan keuangan.

Penyelenggara: Antara Bertahan dan Berubah

Grand Slam tentu tidak tinggal diam. Mereka menegaskan bahwa hadiah turnamen terus meningkat tiap tahun.

Wimbledon, misalnya, pada 2025 menaikkan prize pool menjadi £53,5 juta, jumlah terbesar dalam sejarahnya.

Tapi di balik angka itu, penyelenggara menekankan bahwa uang hadiah bukan satu-satunya masalah. Mereka bicara soal:

  • Biaya operasional stadion dan infrastruktur.

  • Pemeliharaan fasilitas kelas dunia.

  • Keamanan dan logistik yang melibatkan ribuan staf.

“Lebih banyak uang bukan solusi instan,” ujar salah satu pejabat Wimbledon. “Ada keseimbangan yang harus dijaga.”

Meski begitu, para pemain melihat ini sebagai jawaban defensif. Karena yang mereka tuntut bukan hanya angka hadiah,

tetapi struktur kepemilikan dan keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan.

Luka Lama yang Mulai Terobati?

Tenis punya sejarah panjang soal relasi kuasa yang timpang.

  • Era Billie Jean King pada 1970-an memperlihatkan bagaimana pemain wanita berjuang keras untuk kesetaraan hadiah. Dari situlah lahir WTA Tour.

  • Pemberontakan ATP 1973, ketika ratusan pemain memboikot Wimbledon karena konflik dengan federasi nasional.

  • Dekade 2000-an, perdebatan soal “equal prize money” akhirnya membuat semua Grand Slam menyamakan hadiah untuk pria dan wanita.

Kini, surat pemain 2025 ini dipandang sebagai bab baru dalam perjalanan panjang itu: perlawanan terhadap model lama di mana turnamen,

federasi, dan sponsor menjadi pemegang kuasa utama, sementara pemain hanyalah pekerja di lapangan.

Suara dari Lapangan

Untuk merasakan dampaknya, cukup dengarkan kisah seorang pemain peringkat 120 dunia.

“Saya pernah main di US Open, lalu kalah di babak pertama. Hadiah $75.000 memang terlihat besar, tapi setelah pajak, bayar pelatih, tiket pesawat,

hotel New York yang super mahal, dan fisioterapis, sisa uangnya bahkan lebih sedikit dari apa yang saya butuhkan untuk turnamen berikutnya di Asia.

Orang pikir kami kaya, padahal kenyataannya banyak dari kami masih harus memilih: bayar pelatih atau bayar sewa apartemen,” katanya, meminta anonim.

Suara-suara inilah yang membuat gerakan pemain terasa bukan sekadar elitisme. Ini tentang keberlangsungan hidup seluruh ekosistem atlet,

dari papan atas sampai mereka yang berjuang di kualifikasi.

Apa yang Mereka Inginkan: Lebih dari Sekadar Uang

Surat pemain itu juga menyinggung isu kesejahteraan non-finansial:

  • Dana pensiun: karena karier tenis biasanya berhenti di usia 30-an, dengan sedikit jaminan masa depan.

  • Tunjangan maternitas: agar petenis wanita tidak merasa karier mereka tamat ketika harus hamil atau melahirkan.

  • Hak suara: agar keputusan penting seperti penggunaan bola baru, jadwal pertandingan malam yang kerap melelahkan,
    atau kondisi ekstrem cuaca bisa diputuskan dengan mempertimbangkan kesehatan pemain, bukan sekadar rating televisi.

“Tenis bukan hanya hiburan untuk penonton, ini juga pekerjaan kami. Kami berhak punya suara di dalamnya,” kata Coco Gauff, juara US Open 2023.

Tantangan yang Menanti

Tentu, jalannya tidak mudah. Ada banyak pihak dengan kepentingan: penyelenggara, sponsor, federasi, pemegang hak siar.

Mengubah distribusi keuntungan berarti ada yang harus kehilangan sebagian.

Bahkan di antara pemain sendiri ada perbedaan sikap. Novak Djokovic, misalnya, menandatangani surat pertama tapi tidak ikut dalam surat kedua.

Bagi sebagian pemain papan atas, tawar-menawar ini bisa dianggap berisiko memicu konflik dengan penyelenggara.

Namun, sejarah menunjukkan bahwa perubahan besar dalam olahraga sering lahir dari keberanian sebagian kecil untuk bersuara lebih keras.

Masa Depan: Menuju Tenis yang Lebih Setara?

Jika tuntutan ini akhirnya diakomodasi, dampaknya bisa mengubah wajah tenis:

  • Lebih banyak pemain bisa bertahan dalam tur, meningkatkan kedalaman kompetisi.

  • Atlet wanita lebih terlindungi, dengan struktur dukungan jangka panjang.

  • Grand Slam lebih transparan, bukan hanya simbol tradisi, tapi juga contoh keadilan.

Namun, jika tuntutan ini diabaikan, ketegangan bisa makin memanas. Bayangan boikot, seperti yang pernah terjadi di Wimbledon 1973, bukan mustahil muncul kembali.

Epilog: Dari Surat ke Sejarah

Di balik raket dan sorotan kamera, para pemain tenis kini menulis kisah lain — kisah perjuangan mereka untuk hak, suara, dan masa depan olahraga.

Grand Slam mungkin tetap menjadi simbol kejayaan, tapi kejayaan itu kosong bila mereka yang membuatnya hidup merasa tak dihargai.

Surat yang diawali di ruang ganti itu kini menjadi panggilan global. Sebuah pengingat bahwa olahraga bukan hanya tentang siapa yang menang atau kalah,

tetapi juga tentang bagaimana semua yang terlibat di dalamnya diperlakukan dengan adil.

By Debora