Di setiap lapangan basket 3×3 di Jawa Timur, selain dentuman bola dan teriakan pelatih, ada suara lain
yang tak kalah penting: sorakan emak-emak dan ayah-ayah yang setia mendampingi anaknya.
Mereka hadir bukan sekadar sebagai penonton, tapi bagian dari denyut nadi basket usia muda.
Ketua Perbasi Jawa Timur, Grace Evi Ekawati, menyebut fenomena ini sebagai “modal utama” dalam
mencetak atlet muda yang totalitas. “Dukungan pertama sebagai cikal bakal mendorong anak untuk basket
adalah emak-emak. Saya mengucapkan terima kasih kepada emak-emak atas dukungannya kepada anak-anak
untuk ikut dan cinta basket,” ucapnya penuh haru saat menghadiri sebuah turnamen di Jember.
Lebih dari Sekadar Sorakan Tribun
Di balik setiap pertandingan, orang tua hadir dengan peran berlapis. Ada yang berangkat pagi-pagi buta mengantar
anaknya ke tempat latihan, ada pula yang mengorbankan waktu kerja demi menonton anaknya bertanding.
Bagi sebagian keluarga, dukungan juga berarti pengorbanan finansial. Mulai dari membeli sepatu basket yang tak murah,
iuran seragam, hingga ongkos perjalanan ke luar kota untuk mengikuti turnamen. Di Jember, klub basket CBB
bahkan mengandalkan konsep shodaqoh dari orang tua dan warga sekitar untuk membiayai event mereka.
Tidak ada tiket masuk, hanya tong amal di depan pintu masuk. “Dari kebersamaan seperti inilah turnamen bisa jalan,
dan anak-anak punya panggung,” ujar Grace.
Keringat, Air Mata, dan Rasa Bangga
Bagi anak-anak yang baru menginjak usia 12–16 tahun, dukungan orang tua menjadi energi tersendiri.
Seorang pemain putri di Sidoarjo bercerita, ia hampir menyerah latihan karena lelah dengan jadwal sekolah yang padat.
Namun sang ibu tak pernah absen membawakan bekal, menyemangati, bahkan menunggu di pinggir lapangan.
“Kalau bukan karena mama, mungkin aku sudah berhenti,” katanya sambil tersenyum malu-malu.
Grace Evi melihat inilah inti “totalitas”: bukan hanya pada anak yang berlari di lapangan, tetapi juga pada keluarga yang menopang.
“Anak-anak belajar arti komitmen dan kerja keras karena melihat orang tuanya juga berkorban,” ujarnya.
Belajar dari Lapangan-Lapangan Kecil
Tak semua cerita datang dari gedung megah. Banyak bibit basket Jawa Timur justru lahir dari lapangan terbuka,
bahkan yang pencahayaannya seadanya. Di situlah orang tua hadir membawa kursi lipat, botol minuman,
hingga payung besar untuk melindungi anak mereka dari terik atau hujan.
Di Surabaya, sebuah turnamen 3×3 diadakan di pusat perbelanjaan. Meski sederhana, atmosfernya meriah.
Para orang tua berdiri rapat di pinggir lapangan, berteriak setiap kali anaknya mencetak poin.
Ada yang menangis haru saat anaknya berhasil membawa tim lolos ke babak selanjutnya.
“Kadang orang menganggap remeh sorakan di pinggir lapangan. Tapi bagi anak-anak,
itu semacam bahan bakar yang membuat mereka tidak cepat menyerah,” kata Grace.
Tantangan di Balik Dukungan
Meski penuh semangat, perjalanan ini tidak selalu mulus. Ada orang tua yang terlalu menekan anak dengan ambisi pribadi,
berharap anaknya jadi bintang besar. Hal itu justru berpotensi menimbulkan stres dan burnout. Grace mengingatkan,
totalitas harus berarti dukungan positif, bukan eksploitasi.
“Banyak anak kehilangan kecintaan pada basket karena merasa terbebani. Jadi orang tua harus tahu kapan harus mendorong,
kapan harus memberi ruang,” tegasnya.
Selain itu, masalah pendanaan masih menjadi kendala. Banyak event bergantung pada donasi atau sponsor kecil.
Perbasi Jatim kini mendorong lebih banyak kolaborasi dengan pihak swasta agar beban tak sepenuhnya jatuh ke pundak orang tua.
Harapan Masa Depan
Dengan makin maraknya event 3×3 seperti Mandiri Indonesia 3×3 Tournament, Impact 3×3 Challenge,
hingga berbagai kejuaraan lokal di Jember dan Sidoarjo, peluang bagi atlet muda Jawa Timur untuk bersinar kian besar.
Namun Grace menekankan bahwa panggung sebesar apapun akan sia-sia tanpa fondasi dukungan keluarga.
“Orang tua adalah pelatih pertama dalam hidup anak. Kalau di rumah mereka mendapatkan dukungan,
di lapangan mereka akan lebih berani bermimpi,” katanya.
Totalitas yang Dibangun Bersama
Dari tribun sederhana di Jember hingga arena megah di Surabaya, satu benang merah mengikat semua kisah: semangat keluarga.
Di balik setiap poin, rebound, dan teriakan wasit, ada pengorbanan orang tua yang tak terlihat.
Mereka mungkin tidak mengenakan jersey, tidak mencetak angka, tapi tanpa mereka,
bola basket 3×3 Jawa Timur tidak akan berkembang seperti sekarang. Seperti kata Grace Evi,
“Kalau bicara MVP sejati, banyak yang pantas, tapi jangan lupakan emak-emak di pinggir lapangan.”