Lapangan Stadion Gelora B. J. Habibie redup diterpa angin senja Sabtu (27/9/2025). Di situlah PSIM Yogyakarta menutup rangkaian empat laga
tandang mereka di BRI Super League musim ini dengan torehan tak terkalahkan — sebuah fakta yang memunculkan sorak hormat sekaligus
pertanyaan: apa yang membuat tim promosi ini punya keunggulan saat bermain jauh dari rumah?
Setelah pertandingan berakhir 0–0 melawan PSM Makassar, Jean-Paul van Gastel tampak diam sejenak sebelum mengurai kata. Di matanya terpancar kebanggaan,
sekaligus kewaspadaan. “Saya sangat puas,” katanya, “salah satu prinsip saya adalah: jika kita bisa menang, kita tidak kalah. Dan tim saya mengikuti prinsip itu.”
Tapi di balik komentar lugasnya itu, ada kisah perjalanan panjang, tantangan geografis, dan faktor-faktor kecil yang menjadikan PSIM sebagai “raja tandang” sementara.
Jejak Rekor di Jalanan Pulau-Pulau Nusantara
Sejak awal musim, catatan PSIM dalam laga tandang menarik perhatian. Dari empat pertandingan away, mereka meraih 10 poin dari 12 kemungkinan — menang tiga kali
dan imbang satu kali. Kemenangan itu datang di markas-markas sulit:
-
Persebaya Surabaya 1–0 di Surabaya;
-
Malut United di Maluku Utara, 2–0;
-
Bali United di Stadion Kapten I Wayan Dipta, 3–1;
Dan satu laga imbang terjadi di Parepare, menghadapi PSM, yang pada akhirnya menjadi refleksi betapa rapatnya persaingan di kompetisi ini.
Dengan tambahan satu poin dari PSM, PSIM kini berada di posisi kedua klasemen sementara, meraih 12 poin dari tujuh laga (tiga menang, tiga imbang, satu kalah).
Dinamika Lapangan, Rumput, dan Karakter Stadion
Van Gastel tidak menganggap fenomena “jago tandang” sebagai keberuntungan semata. Dia menyebut bahwa kondisi permukaan lapangan dan karakteristik rumput antar stadion turut berpengaruh.
“Ada perbedaan di kondisi rumput lapangan. Beberapa stadion tandang, menurut pengamatan saya, memiliki rumput yang lebih baik,” ujarnya.
Dia juga menyinggung bahwa Stadion Sultan Agung (SSA), kandang PSIM, belum ideal di beberapa laga awal, walau sudah ada perbaikan yang dilakukan manajemen.
Dengan rumput yang relatif “bersahabat” dan karakter stadion yang tak terlalu asing bagi para pemain yang sering bertanding di lapangan berbeda,
PSIM berhasil memaksimalkan keunggulan kecil itu saat bertandang.
Perjalanan Panjang & Tantangan Fisik
Secara geografis, jadwal kompetisi kasta atas Indonesia sangat menantang. Antara satu laga dan laga lain, tim sering berpindah dari satu pulau ke pulau lain,
menempuh perjalanan jauh tanpa banyak waktu istirahat. Di akhir pertandingan melawan Bali United, misalnya, PSIM langsung melanjutkan perjalanan ke Parepare.
Van Gastel menyebut bahwa itu “perjalanan yang berat”, tetapi ia bangga karena timnya tetap bisa tampil dan berjuang.
Perjalanan seperti ini bukan hanya soal fisik, tapi juga soal manajemen istirahat, pemulihan, dan kesiapan mental pemain.
Analisis Laga vs PSM: Kesempatan Tersembunyi & Kiper Unggul
Laga di Parepare menjadi ujian sekaligus gambaran nyata dari karakter PSIM dalam laga tandang: rapi, terukur, dan tak mudah dipatahkan.
Van Gastel mengakui bahwa sepanjang pertandingan timnya memiliki peluang, tetapi “20 menit terakhir” menjadi fase penting. Menurut dia,
PSIM sempat mendapatkan peluang dari tendangan sudut yang bisa saja berbuah gol. Namun, hasil akhirnya tetap imbang, yang menurutnya “cukup wajar”.
Dia juga menyebut bahwa babak pertama bukan performa terbaik timnya — penguasaan bola ada, tetapi efektivitas minim. Sementara di babak kedua, peluang lebih terbuka muncul.
Soal penjaga gawang, Van Gastel tak ragu memberi pujian ke kiper PSIM (Cahya Supriadi) dan juga kiper PSM (Hilman Syah). Dalam pandangnya,
kedua kiper pantas mendapat predikat “pemain terbaik” di pertandingan itu karena peran penting mereka menjaga agar skor tetap imbang.
Filosofi Van Gastel & Bahaya Gelombang Turun
Bagi van Gastel, pencapaian positif ini bukan akhir, melainkan bagian dari curve panjang musim. Ia sadar bahwa sepak bola berjalan dalam gelombang — bisa naik, bisa turun.
“Saya tidak berharap kita mendapat hasil tidak bagus, tapi itu mungkin terjadi karena sepak bola berjalan dalam gelombang,” katanya.
Ia juga menegaskan bahwa konsistensi menjadi pekerjaan utama: menjaga tim agar tampil di “level tertentu” di setiap pertandingan.
Lebih jauh ia mengingatkan bahwa keberhasilan sekarang tidak membuatnya menjadi pelatih berbeda — “bisa saja tim mengalami dua kekalahan berturut-turut,
tetapi itu bukan berarti identitas kita hilang.”
Dampak & Harapan ke Depan
Untuk sebuah tim promosi, pencapaian seperti ini layak dielu-elukan: berada di papan atas klasemen sementara dan menunjukkan jati diri sebagai tim yang tangguh dalam laga tandang.
Namun, jalan masih panjang. Lawan-lawan berikutnya tak akan memberi ruang bernafas; faktor kelelahan, cedera, dan tekanan hasil akan terus menghantui.
Konsistensi, manajemen skuat, dan penanganan mental akan menjadi ujian sesungguhnya.
Van Gastel tampak memahami itu. Di balik komentar “berkelas” — tentang filosofi, prinsip, dan kebanggaan — dia tetap menaruh pijakan di realitas: kompetisi berat,
fluktuasi performa, dan kebutuhan adaptasi konstan.
Ketika hari-hari tandang berikutnya tiba, barangkali PSIM tak lagi hanya “tim promosi yang tampil bagus,” melainkan tim yang benar-benar diperhitungkan — bukan karena rekor di jalan,
melainkan karena kepribadian kompetitif yang rela diuji di medan mana pun.