Ketika kabar duka itu datang, dunia tenis seakan berhenti sejenak. Nikola Pilić, pria asal Split yang mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk olahraga putih ini,
berpulang pada usia 86 tahun. Nama yang mungkin tak lagi akrab di telinga generasi baru, namun bagi mereka yang memahami sejarah tenis modern,
Pilić adalah simpul penting—seorang pemain, pelatih, sekaligus pemberontak yang mengubah jalannya sejarah.
Dari Split ke Dunia: Awal Perjalanan
Lahir pada 27 Agustus 1939, di sebuah kota pesisir Adriatik yang penuh semangat olahraga, Pilić tumbuh dalam era yang masih dilanda sisa-sisa perang.
Tenis saat itu hanyalah olahraga minoritas di Yugoslavia, kalah pamor dari sepak bola atau bola basket. Namun, raket menjadi sahabatnya sejak remaja.
Ketekunan dan bakat alami membawanya ke kancah internasional. Pada 1970, ia menorehkan pencapaian besar dengan meraih gelar ganda putra US Open bersama Pierre Barthès.
Tiga tahun kemudian, ia menapaki puncak karier tunggal ketika mencapai final Roland Garros 1973, hanya kalah dari Ilie Năstase yang tengah berada di puncak keperkasaannya.
Di balik semua itu, gaya bermain Pilić tak pernah dianggap flamboyan seperti Rod Laver atau Jimmy Connors. Namun,
yang membedakannya adalah kepala dingin dan prinsip keras—dua hal yang kelak membuat namanya lebih besar dari sekadar statistik kemenangan.
1973: Tahun yang Mengubah Tenis Selamanya
Nama Pilić benar-benar tercatat dalam sejarah ketika sebuah insiden terjadi pada Piala Davis 1973. Ia dituduh menolak membela tim Yugoslavia melawan Selandia Baru,
sebuah tuduhan yang ia bantah. Federasi Tenis Internasional (ITF) kemudian menjatuhkan hukuman larangan bermain.
Reaksi dunia tenis sungguh luar biasa: 81 pemain, termasuk 12 dari 16 unggulan, memboikot Wimbledon 1973 sebagai bentuk solidaritas.
Turnamen legendaris itu berlangsung dengan sepi bintang, menjadi salah satu edisi paling aneh sepanjang sejarah.
Namun, dari tragedi itu lahirlah momentum penting: suara pemain mulai diperhitungkan. Pilić, tanpa sengaja, menjadi simbol perlawanan terhadap
otoritas tenis yang selama ini dianggap terlalu otoriter. Tanpa dirinya, mungkin Asosiasi Pemain Tenis Profesional (ATP) tak akan punya kekuatan sebesar sekarang.
Sisi Lain: Mentor Para Juara
Jika masa bermainnya penuh dengan kontroversi bersejarah, masa pensiunnya justru melahirkan sesuatu yang lebih besar: akademi tenis di Oberschleißheim, dekat Munich, Jerman.
Dari sinilah lahir sejumlah nama besar.
-
Boris Becker dan Michael Stich, ikon Jerman, dibentuk di bawah pengaruhnya.
-
Ia membawa Jerman menjuarai Davis Cup tiga kali (1988, 1989, 1993).
-
Ia kembali menorehkan sejarah dengan membawa Kroasia juara Davis Cup 2005.
-
Tak berhenti di situ, ia juga menjadi bagian penting dari kesuksesan Serbia pada 2010.
Namun, yang paling sering disebut adalah perannya terhadap Novak Djokovic. Nole, yang kini dianggap salah satu pemain terbesar sepanjang masa,
pernah menghabiskan masa remajanya di akademi Pilić. Djokovic berkali-kali menyebut Pilić sebagai “ayah tenis”-nya—sosok yang bukan hanya melatih teknik,
tapi juga membentuk mental baja yang kemudian membantunya menaklukkan dunia.
Filosofi Seorang Pelatih
Apa rahasia Pilić sebagai pelatih? Jawabannya ada pada pandangannya tentang tenis sebagai perpaduan seni, sains, dan jiwa.
Ia percaya, teknik hanyalah fondasi. Yang lebih penting adalah kemampuan membaca lawan, menjaga emosi, dan menolak menyerah. “Lapangan adalah cermin jiwa,”
pernah ia katakan. Filosofi itu tercermin pada murid-muridnya: Becker yang berani, Stich yang tenang, hingga Djokovic yang gigih.
Akademinya tidak hanya mencetak atlet, tetapi juga manusia dengan karakter kuat. Inilah yang membuatnya dihormati, bahkan oleh mereka yang tidak lagi aktif bermain.
Seorang Kroasia, Seorang Eropa, Seorang Dunia
Menariknya, Pilić melintasi batas negara dan politik. Ia lahir di Yugoslavia, meraih kejayaan bersama Jerman, lalu mengharumkan Kroasia dan Serbia.
Di tengah gejolak Balkan dan perpecahan politik, Pilić menjadi bukti bahwa olahraga bisa menyatukan, bukan memisahkan.
Pemerintah Serbia memberinya penghargaan, sementara Kroasia menganggapnya pahlawan olahraga. Di Jerman, namanya tetap tercatat dalam sejarah Davis Cup.
Ia bukan hanya milik satu bangsa, melainkan milik dunia tenis.
Kenangan yang Tertinggal
Novak Djokovic, dalam unggahan emosional setelah kabar duka, menulis: “Nikola bukan hanya pelatih. Ia adalah mentor, ayah, dan sahabat. Tanpa dirinya,
saya tidak akan menjadi pemain seperti hari ini.”
Penghormatan serupa datang dari Federasi Tenis Kroasia, ATP, hingga legenda-legenda Eropa lain. Semua mengakui bahwa kepergiannya adalah kehilangan besar bagi tenis.
Warisan Seorang Pemberontak yang Dicintai
Jika harus diringkas, warisan Pilić mencakup tiga hal:
-
Keberanian — berani menentang otoritas ketika merasa diperlakukan tidak adil.
-
Dedikasi — mengabdikan hidupnya untuk melatih generasi baru meski sudah tak lagi bermain.
-
Pengaruh lintas batas — meninggalkan jejak di tiga negara berbeda, dan menghasilkan murid yang kini mendominasi dunia.
Lapangan Kosong, Suara yang Abadi
Kini, di Rijeka tempat ia menutup mata, lapangan-lapangan tenis mungkin terasa sepi tanpa sosok Nikola Pilić. Namun, suaranya masih terngiang di setiap langkah pemain muda,
di setiap reli panjang, di setiap momen ketika tenis menunjukkan keindahannya sebagai olahraga jiwa.
Nikola Pilić mungkin telah tiada, tetapi semangatnya tetap hidup—dalam keberanian pemain melawan ketidakadilan, dalam kegigihan murid-muridnya,
dan dalam sejarah tenis yang tak bisa ditulis tanpa menyebut namanya.