UEFA Menunda Putusan Pertandingan Domestik di Luar Negeri: Antara Ambisi Global dan Suara Suporter

UEFA Menunda Putusan Pertandingan Domestik di Luar Negeri

Sebuah keputusan penting tengah ditunda. UEFA, badan sepakbola Eropa, memilih untuk tidak segera memutuskan

soal izin bagi liga domestik menggelar pertandingan di luar negeri. Isu ini mengemuka setelah La Liga Spanyol

dan Serie A Italia mendorong rencana ambisius: membawa pertandingan resmi liga ke Amerika Serikat dan Australia.

Di permukaan, langkah itu tampak seperti strategi pemasaran cerdas. Klub-klub Eropa memang sudah lama jadi magnet global.

Penonton di Asia, Timur Tengah, dan Amerika setiap akhir pekan rela bangun dini hari demi menyaksikan aksi Lionel Messi, Cristiano Ronaldo,

hingga Kylian Mbappé—meski mereka bermain ribuan kilometer jauhnya. Pertanyaannya: mengapa tidak sekalian membawa pertandingan itu ke depan mata mereka?

Namun, di balik ambisi globalisasi ini, muncul pertanyaan lebih besar: apakah sepakbola bisa tetap menjadi milik komunitas lokal ketika dibawa jauh dari rumahnya?

Ambisi Klub dan Liga: “Membawa Sepakbola Lebih Dekat ke Dunia”

La Liga sudah terang-terangan mendorong pertandingan Villarreal vs Barcelona untuk dimainkan di Miami.

Serie A pun tak mau ketinggalan dengan usulan laga AC Milan vs Como di Perth, Australia. Kedua proposal itu berlandaskan

argumen serupa: pasar internasional terlalu besar untuk diabaikan.

“Kami ingin mendekatkan klub-klub kami dengan jutaan penggemar di seluruh dunia,” ujar Javier Tebas, Presiden La Liga,

dalam sebuah wawancara sebelumnya. “Sepakbola modern adalah global, dan itu berarti pengalaman pertandingan juga harus global.”

Dari sisi finansial, logikanya sulit terbantahkan. Satu pertandingan di luar negeri dapat menarik sponsor baru, memperluas hak siar,

dan menguatkan brand liga. Bagi klub, peluang itu berarti pemasukan tambahan yang signifikan, apalagi di era pasca-pandemi ketika neraca keuangan banyak klub masih rapuh.

Penolakan Keras dari Basis Tradisional

Tetapi di Eropa, suara-suara keras bermunculan. Lebih dari 400 kelompok suporter dari berbagai negara menyatakan penolakan.

Mereka menilai pertandingan domestik di luar negeri adalah “pengkhianatan” terhadap identitas klub dan komunitas lokal.

“Bagaimana mungkin pertandingan kandang Villarreal justru dimainkan 7.000 kilometer jauhnya dari stadion mereka?”

keluh seorang anggota federasi suporter Spanyol. “Sepakbola bukan sekadar hiburan televisi. Ini soal budaya, soal komunitas, soal keluarga yang datang ke stadion tiap akhir pekan.”

Isu fairness juga tak kalah penting. Bermain kandang di stadion penuh pendukung adalah keuntungan yang diakui secara universal.

Bila pertandingan dipindahkan ke benua lain, bagaimana dengan keseimbangan kompetisi? Bagaimana dengan ribuan suporter yang sudah membeli tiket musiman, tapi kehilangan hak menyaksikan tim mereka di kandang?

UEFA di Persimpangan Jalan

UEFA, dalam rapat Komite Eksekutif di Tirana, akhirnya memilih menunda keputusan.

Presiden UEFA Aleksander Čeferin menegaskan bahwa persoalan ini terlalu penting untuk diputuskan secara terburu-buru.

“Kami memahami ambisi untuk memperluas jangkauan sepakbola. Tetapi kami juga sadar ada kekhawatiran yang sangat nyata dari suporter dan federasi nasional.

Karena itu, kami akan melakukan konsultasi menyeluruh sebelum mengambil sikap final,” ujar Čeferin.

UEFA menjadwalkan pertemuan lanjutan pada 3 Desember 2025 di Nyon, Swiss. Di sana,

isu ini kemungkinan kembali dibahas setelah gelombang konsultasi dengan federasi, klub, dan kelompok suporter.

Jejak Sejarah: Bukan Pertama Kali

Upaya membawa pertandingan resmi ke luar negeri sebenarnya bukan hal baru. Pada 2008,

Premier League Inggris pernah mengusulkan “Game 39”, yakni satu laga tambahan yang dimainkan di berbagai kota internasional.

Ide itu langsung kandas setelah mendapat tentangan keras, terutama dari FIFA.

La Liga juga pernah mencoba menggelar laga Girona vs Barcelona di Miami pada 2018. Proposal itu bahkan sudah matang, tiket siap dijual.

Tetapi lagi-lagi, FIFA dan Federasi Sepakbola Spanyol menolak.

Sejarah menunjukkan, gagasan ini selalu datang kembali—dan selalu menimbulkan perdebatan sengit.

Antara Komersialisasi dan Tradisi

Perdebatan soal pertandingan luar negeri sejatinya adalah refleksi dari pergeseran identitas sepakbola modern.

Pihak pro menilai sepakbola sudah menjadi industri global. Klub-klub top punya jutaan penggemar di luar negeri yang jarang bisa merasakan atmosfer stadion.

Membawa pertandingan resmi keluar negeri adalah bentuk inklusi global.

Pihak kontra melihatnya sebagai langkah komersial yang mengorbankan suporter lokal. Sepakbola, kata mereka,

bukan sekadar bisnis—tapi bagian dari warisan budaya dan identitas kota.

Dari perspektif ekonomi, daya tariknya jelas. Dari perspektif emosional, resikonya lebih dalam.

Mungkin inilah dilema terbesar sepakbola modern: bagaimana menyeimbangkan bisnis global dengan akar lokal.

Masa Depan: Menunggu Desember

Menunda berarti UEFA masih membuka pintu bagi kemungkinan apapun. Bisa jadi, UEFA akhirnya memberi lampu hijau dengan syarat ketat.

Bisa juga UEFA menutup rapat-rapat pintu bagi pertandingan domestik di luar negeri.

Apa pun keputusannya, satu hal jelas: keputusan ini akan menjadi preseden besar. Jika satu pertandingan resmi berhasil dimainkan di Miami atau Perth,

pintu itu akan sulit ditutup kembali. Liga-liga lain bisa mengikuti. Sepakbola domestik tak lagi hanya milik kota atau negara asalnya,

melainkan juga panggung global yang berpindah-pindah.

Sementara itu, di tribun-tribun stadion kecil di Spanyol, Italia, dan seluruh Eropa, ribuan suporter masih

bertanya-tanya: apakah klub mereka kelak lebih memilih basis global dibanding basis lokal?

Penutup

UEFA kini berdiri di persimpangan jalan. Di satu sisi ada janji komersial dan peluang global yang menggiurkan.

Di sisi lain ada suara suporter yang mengingatkan bahwa sepakbola lahir dari jalan-jalan sempit, stadion bersejarah, dan komunitas yang setia.

Keputusan yang akan diambil pada bulan Desember mendatang bukan hanya soal lokasi pertandingan,

tapi juga soal arah masa depan sepakbola itu sendiri: apakah tetap menjadi milik rakyat, atau sepenuhnya menjadi industri global.

By Debora